Rabu, 23 November 2011

ULASAN mengenai perlunya mewaspadai penggunaan antibiotik secara tidak rasional sudah sering dibahas. Akan tetapi, bagaimanapun, "kampanye" memerangi penggunaan antibiotik secara irasional itu masih kalah marak dibandingkan dengan kenyataan yang terjadi di lapangan.

Anak-anak termasuk bayi adalah golongan usia yang secara tidak langsung kerap menjadi obyek "ceruk pasar" dari berbagai produk antibiotik yang diresepkan dokter. Hingga hari ini pun sebagian dokter masih kerap menunjukkan sikapketidaksukaan jika menghadapi pasien cerewet alias kritis. Masih banyak pula pasien-yang notabene konsumen medis-segan banyak bertanya kepada dokter, dan memilih manggut-
manggut saja jika diberi obat apa pun oleh dokter.

"Sebenarnya kan lucu jika kita tidak tahu apa sebenarnya yang kita bayar.  Terlebih yang kita bayar itu untuk dikonsumsi oleh anak kita yang merupakan amanat Tuhan. Ketidaktahuan ini sering kali dibiarkan oleh kalangan medis,malah kerap dimanfaatkan," ujar dr Purnamawati S Pujiarto, SpAK, MMPed, yang aktif mengedukasi para orangtua dalam mengonsumsi produk dan jasa medis, termasuk melalui milis (mailing
list).

Seperti dipaparkan Purnamawati, antibiotik berasal dari kata anti dan bios (hidup, kehidupan). Dengan demikian, antibiotik merupakan suatu zat yang bisa membunuh atau melemahkan suatu makhluk hidup, yaitu
mikro-organisme (jasad renik) seperti bakteri, parasit, atau jamur. Antibiotik tidak dapat membunuh virus sebab virus memang bukan "barang" hidup. Ia tidak dapat berkembang biak secara mandiri dan
membutuhkan materi genetik dari sel pejamu, misalnya sel tubuh manusia, untuk berkembang biak.

Sementara masih kerap terjadi, dokter dengan mudahnya meresepkan  antibiotik untuk bayi dan balita yang hanya sakit flu karena virus. Memang gejala yang menyertai flu  kadang membuat orangtua panik, seperti demam, batuk, pilek.  Antibiotik yang dianggap sebagai "obat dewa". Pasien irasional seperti ini seperti menuntut dokter menjadi tukang sihir. Padahal, antibiotik tidak mempercepat, apalagi melumpuhkan, virus flu.

"Orangtua sebagai yang dititipi anak oleh Tuhan harusnya tak segan-segan bertanya sama dokter. Apakah anaknya benar-benar butuh antibiotik?  Bukankah penyebabnya virus? Tanyakan itu kepada dokter,"
kata Purnamawati tegas.

Namun, kadangkala menghadapi orangtua yang bersikap kritis, sebagian  dokter beralasan antibiotik harus diberikan mengingat stamina tubuh anak sedang turun karena flu. Jika tidak diberi antibiotik, hal itu akan 
memberi peluangvirus dan kuman lain menyerang.

Mengenai hal itu, Purnamawati menanggapi, "Sejak lahir kita sudah dibekali dengan sistem imunitas yang canggih. Ketika diserang penyakit infeksi, sistem imunitas tubuh terpicu untuk lebih giat lagi. Infeksi karena virushanya bisa diatasi dengan meningkatkan sistem imunitas tubuh dengan makan baik dan istirahat cukup, serta diberi obat penurun panas jika suhunya di atas 38,5 derajat Celsius. Jadi, bukan diberi antibiotik. Kecuali kalau kita punya gangguan sistem imun seperti terserang HIV. Flu akan sembuh dengan sendirinya, antibiotik hanya memberi efek plasebo (bohongan)."

Hal senada juga secara tegas dikatakan farmakolog Prof dr Iwan Darmansjah, SpFk. "Antibiotik yang diberi tidak seharusnya kepada anak malah merusak sistem kekebalan tubuhnya. Yang terjadi anak malah turun imunitasnya, lalu sakit lagi. Lalu jika dikasih antibiotik lagi, imunitas turun lagi dan sakit lagi. Terus begitu, dan kunjungan ke dokter makin sering karena anak tambah mudah sakit," ujar Iwan.

PURNAMAWATI menggarisbawahi, antibiotik baru dibutuhkan anak ketika terserang infeksi yang disebabkan bakteri. Contoh penyakit akibat infeksi bakteri adalah sebagian infeksi telinga, infeksi sinus berat,
radang tenggorokan akibat infeksi  kuman streptokokus, infeksi saluran kemih, tifus, tuberkulosis, dan diare akibat amoeba hystolytica.
Namun jika antibiotik digunakan untuk  infeksi yang nonbakteri, hal itu  malah menyebabkan berkembang biaknya bakteri yang resisten.

"Perlu diingat juga, untuk radang  tenggorokan pada  bayi, penelitian  membuktikan 80-90 persen bukan karena infeksi bakteri streptokokus, jadi tidak perlu antibiotik. Radang  karena infeksi streptokokus hampir tidak pernah terjadi pada usia di bawah dua tahun, bahkan jarang hingga di bawah empat tahun," kata Purnamawati.

Beberapa keadaan yang perlu diamati jika anak mengonsumsi antibiotik adalah gangguan saluran cerna, seperti diare, mual, muntah, mulas/kolik, ruam kulit, hingga pembengkakan bibir, kelopak mata, hingga gangguan napas. "Berbagaipenelitian juga menunjukkan, pemberian antibiotik pada usia dini akan mencetuskan terjadinya alergi di masa yang akan datang," kata Purnamawati tandas.

Kemungkinan lainnya, gangguan akibat efek samping beberapa jenis antibiotik adalah demam, gangguan darah di mana salah satu antibiotik seperti kloramfenikol dapat menekan sumsum tulang sehingga produksi
sel-sel darah menurun. Lalu, kemungkinan kelainan hati, misalnya antibiotik eritromisin, flucloxacillin, nitrofurantoin, trimetoprim, sulfonamid. Golongan amoxycillin clavulinic acid dan kelompok makrolod
dapat menimbulkan allergic hepatitis.  Sementara antibiotik golongan aminoglycoside, imipenem/meropenem, ciprofloxacin juga dapat menyebabkan gangguan ginjal.

Jika anak memang memerlukan antibiotik karena terkena infeksi bakteri, pastikan dokter meresepkan antibiotik yang hanya bekerja pada bakteri yang dituju, yaitu antibiotik spektrum sempit (narrow spectrum
antibiotic).  Untuk infeksi bakteri yang ringan, pilihlah yang bekerja terhadap bakteri gram positif, sementara infeksi bakteri yang lebih berat (tifus, pneumonia, apendisitis) pilihlah antibiotik yang juga membunuh
bakteri gram negatif. Hindari pemakaian salep antibiotik (kecuali infeksi mata), serta penggunaan lebih dari satu antibiotik kecuali TBC atau infeksi berat di rumah sakit.

Jika anak terpaksa menjalani suatu operasi, untuk mencegah infeksi sebenarnya antibiotik tidak perlu diberikan dalam jangka waktu lama. "Bahkan pada operasi besar seperti  jantung, antibiotik cukup diberikan
untuk dua hari saja," ujar Iwan. Purnamawati menganjurkan, para orangtua hendaknya selalu memfotokopi dan mengarsip segala resep obat dari dokter, dan tak ada salahnya mengonsultasikan kepada ahli
farmasi sebelum ditebus.

Sejak beberapa tahun terakhir, sudah tidak ditemukan lagi antibiotik baru dan lebih kuat. Sementara kuman terus menjadi semakin canggih dan resisten akibat penggunaan antibiotik yang irasional. Inilah yang akan menjadi masalah besar kesehatan masyarakat. Antibiotik dalam penggunaan yang tepat adalah penyelamat, tetapi jika digunakan tidak tepat dan brutal, ia akan menjadi bumerang.

"Antibiotik seperti pisau bermata dua. Untuk itu, media massa berperan  besar menginformasikan hal ini dan tidak perlu khawatir jika industri  farmasi ngambek tak mau beriklan," tutur Iwan. (SF)




-Sumber : Kompas Minggu, 10 April 2005 -
Bismillahirrahmanirahim....

Jam di bb menunjukkan pukul 04.00 WIB pagi, aaaaa....aaa....aaa...... (kira-kira gitu suara si ibaad).
Mungkin maksudnya, ayo abah...subuh sana..!!! masa jam segini masih belum bangun. Kalah ama abang dunk. ^__^
ternyata si Ibaad udah ada di samping abahnya. Lucu banget deh, liat pipinya yang gembul itu jadi langsung bangun deh abahnya.

Yupp...anakku itu emang bangunnya selalu pagi. Entah kenapa saya juga ga tau, mungkin karena tidurnya awal kali ya. FYI, si Ibaad tidurnya jam 7 malam (abahnya kadang ga bisa ketemu ni..T__T). Mudah-mudahan sih jam  biologis ini bakalan berlanjut ampe nanti dia gede. Biar ga susah lagi kalo nanti diajak shalat subuh berjamaah ke masjid.


-Terima kasih Ibaad, anak abah yang sholeh.-

Selasa, 22 November 2011

Bismillahirrahmanirrahim...

Sebenarnya, anakku si Ibaad dah mulai diajarin berenang sejak usia 3 (tiga) bulan. Waktu itu saya dan keluarga masih pisah ranjang (bahasanya vulgar), saya di Jakarta sedangkan istri dan anak ada di Batang, Jawa Tengah. Kepincut beliin si kecil kolam renang sejak liat acara di tv yang nayangin pijet bayi plus-plus. Plusnya ya itu, "berenang" di kolam kubus kecil. Lucu juga tuh....
akhirnya browsing-browsing di internet, liat www.kaskus.us, than....ternyata banyak banget yang jual. ^__^
Dengan harga 270 rebu aja kita dah bisa ngajarin anak berenang sejak usia dini, padahal bapaknya ini ga bisa berenang. hihi...

Sekarang, di usianya yang ke-6 bulan, kolam renangnya udah ga bisa diandelin lagi. Masuk kolam, malah loncat-loncat gitu, sampe airnya pada masuk di leher. Jadi serem juga nih. Kalo ga diawasin bisa diminum/terminum. Sepertinya butuh kolam yang lebih besar lagi.
Himbauan buat para orang tua :
1. Kalo lagi berenang jangan ditiinggalin/disambi kerjaan lain ya....
2. Pilih kolam dari karet aja. Ga banget kan kalo anak lagi loncat terus menghantam bibir kolam. T__T
3. Jangan lama-lama mandinya, tar pilek (kek si Ibaad sekarang)

Oke deh, sekian dulu acara liburannya.
Selamat mencoba..!!
Bismillahirrahmanirrahim...

Apa itu Baby-Led Weaning (BLW)?
Itu lho bu/pak salah satu metode MPASI yang tujuannya untuk gradually weaning bayi dari full milk-diet to solid-diet. Bedanya, di BLW, bayinya in a way, milih sendiri untuk makan apa, berapa banyak, dll. Perbedaan paling besar antara tradisional MPASI dan BLW adalah: bayi tidak dikasih puree.
 -copas dari www.theurbanmama.com-


Saat pertama kali mengenal metode ini, saya mungkin memiliki pikiran yang sama dengan orang tua kebanyakan. Banyak sekali pertanyaan yang timbul di lubuk hati terdalam. Mulai dari ketercukupan gizi, kasus tersedak, pakaian yang kotor, dsb. BLW itu ribet dan ga efisien, cuma itu yang bisa saya simpulkan di hari pertama. 
Bagaimana tidak, anakku semata wayang (emang baru atu) sempat gagging (yang saya anggap tersedak/choking) ketika pertama kali dikasih kembang kol. Duu.....hhh...kasian deh liat si kecil kesusahan. Sempat terpikir untuk tidak melanjutkan proses BLW ini. Karena takut si kecil kenapa-kenapa, akhirnya tak cobain tuh dikasih makanan kek bubur (tepung gasol), tapi ya itu...si kecil malah GTM (gerakan tutup mulut). Pusyyyiiiiiiinggggg deh.....gimana ini..??? kok ga mau makan sih..?
Akhirnya dengan bujuk rayu istriku, si kecil kembali BLW, kali ini pake yang ringan-ringan aja kek mangga (sampai akhirnya saya tau kalo mangga belum boleh untuk anak 6 bulan ^___^). So far....si kecil mulai terbiasa, sampe sekarangpun si kecil tetap BLWan. 

Setelah satu minggu :
ada perkembangan yang pesat dari gerak motorik si kecil. Sekarang dia kalo minum maunya megang gelas sendiri trus kalo dikasih sendok kecil langsung diarahin ke mulut. hihi... lucu deh.








si kecil lagi makan mangga. ^___^


-Terima kasih istriku-