Kamis, 25 Juli 2013




Bismillahirrahmanirrahim...

Tepat pukul 02.15 dini hari, saya dan rekan kerja tiba di salah satu stasiun kereta api besar di Jawa Tengah, tepatnya di Purwokerto. Tujuan kami sebenarnya adalah mengunjungi salah satu Pejabat Lelang Kelas II yang berada di Kabupaten Cilacab. Keluar dari stasiun kami telah disambut oleh petugas hotel Dafam Cilacap yang ternyata telah menunggu kami sejak pukul 01.00. Kami memang sengaja memesan travel yang disediakan oleh hotel, karena tidak mungkin juga ada angkutan umum yang beroperasi pagi buta seperti itu. 

Awalnya saya agak sedikit tertegun melihat Hotel Aston berdiri tegak di jalanan Purwokerto, bahkan sang sopir menimpali bahwa Hotel Horizon pun telah lama ada di sini. Sejenak berfikir, target customer mereka siapa ya? Ah..lupakanlah...bukan urusan saya. hehehe..

Perjalanan ke Cilacap, yang menurut google Maps berjarak 57 Km, ditempuh dalam rentang waktu kurang lebih 1 jam. Termasuk cepat, kata sang sopir. Maklum, malam hari jalanan pasti sepi. Kalau siang, kemungkinan 1 jam 30 menit. Rute perjalanan cukup rumit, dengan berbagai kelokan tajam, dan banyaknya perempatan. Terus terang, saya bukan orang yang cepat hapal dengan jalanan yang telah dilalui. Alih-alih menghapal jalan, saya tertidur pulas sampai tetiba ada tangan yang menepuk pundak saya tanda telah tiba di hotel. Bagi sebagian orang yang sering bepergian ke Semarang, mungkin cukup familiar dengan hotel Dafam. Menurut beberapa testimoni yang pernah saya baca, hotel ini murah meriah, fasilitas oke, plusnya lagi pelayannya ramah dengan standar pelayanan bintang lima. Apa benar begitu? Well..lets see.

Setibanya di Hotel, jam dinding menunjukkan pukul 03.30, tandanya Sahur sudah bisa dimulai. Maklum, subuh di Cilacap lebih cepat dari Jakarta. So...here we go.!! Makan-makan..!!
Prasmanan yang disajikan cukup beragam untuk sekelas hotel bintang tiga. Terdapat empat meja dengan menu yang berbeda. Meja pertama menyajikan berbagai macam roti-rotian, meja kedua menghadirkan masakan tradisional dengan kombinasi kuah santan, ayam potong, tahu goreng, lalapan, dsb. Untuk meja ketiga, tersedia Soto Ayam, sayangnya kita dituntut untuk mengambil sendiri dengan takaran sesuai selera masing-masing, alhasil tidak semua racikan enak dilidah. The last one, meja bubur ayam plus omelete. Suasana ruang makan cukup ramai, entah dari mana dan mau apa orang-orang ini di pelosok Jawa Tengah.

Makan udah, perut pun kenyang, timbul ngantuk. Bisa dimaklumi, soalnya kami tidak benar-benar tertidur sempurna semalam. Saatnya merebahkan tubuh di kamar. Kebetulan kami mendapat kamar yang posisinya berada di pojokan. Biasanya, untuk naik ke kamar, hotel menyediakan lift. Betul tidak..? nah kalau di sini, tidak ada lift, yang ada hanya tangga. Namanya juga hotel cuma dua lantai, ngapain pakai lift. Yupp bener banget....hotel Dafam hanya terdiri dari dua lantai saja saudara-saudara. Pantes saja kalau kemarin kami sempat kehabisan (untung ada yang cancel). Disamping kamarnya sedikit, ternyata hotel ini juga sering digunakan oleh PT Pertamina untuk mengadakan acara-acara kantor. (Ternyata orang-orang yang saya temui tadi di restoran adalah orangnya PT Pertamina).

Dengan tarif corporate, kami mendapatkan harga khusus, untuk menginap satu malam cukup dengan Rp440.000,- (beda tipis ama SBU Pejabat Eselon IV yang Rp450.000), bandingkan dengan harga normal yang mencapai Rp700.000an. 

Di kamar, terdapat dua tempat tidur, lemari, kamar mandi yang lumayan, meja kerja, kulkas, dll. Cukup nyaman untuk beristirahat. Hampir mirip-miriplah ama kamar yang ada di Hotel Aryaduta Jakarta.

Oke deh, sementara gini dulu ya reviewnya. Mau istirahat untuk persiapan cari oleh-oleh. Hehe..

_Abu Ibaadurrahman_


Minggu, 21 Juli 2013

http://www.whatshalliread.info/index.php/2013/01/
Bismillahirrahmanirrahim...

Buku menurut banyak orang merupakan jendelanya dunia. Melalui buku, kita jadi mengerti banyak hal. Mulai dari perkara ringan semacam ekonomi, sosial, teknologi, dsb, maupun perkara berat semacam tren busana muslimah abad 21, tren hijab “muslimah”, dll. Namun, dewasa ini perannya seolah tergantikan oleh media internet, ditambah dengan beragam mesin pencarian bermunculan, semisal mr google yang kita anggap serba tahu. Selain menawarkan informasi yang cepat, mr google juga dapat memberikan semua gambaran keingintahuan bagi semua orang. Yah..bisa dibilang saat ini jendela dunia bukan lagi milik buku, tapi juga miliknya media internet. Lambat laun, buku mulai ditinggalkan. Pengalaman pribadi mengiyakan pendapat tersebut. Segala macam informasi dapat diakses melalui smartphone or tablet. Tinggal sentuh-sentuh, geser-geser, semua informasi langsung ada di depan mata. So simple..!! Lalu bagaimana dengan eksistensi penjualan buku itu sendiri?


Nasib si Buku
Menurut saya pribadi, eksistensi buku tak akan pernah berakhir. Apa pasal? Begini Saudara, ketika pada zaman dahulu buku dijadikan sebagai sumber ilmu pengetahuan, kini perannya mungkin agak sedikit berkembang (kalau tidak mau dibilang bergeser). Buku tidak hanya dipandang sebagai sebuah barang yang bisa memberikan ilmu yang bermanfaat, tapi bagi sebagaian [red: banyak] orang, buku juga menjadi bahan koleksi. Pergeseran tersebut dapat dipandang ke arah positif tapi juga negatif. Positifnya, buku sekarang menjadi barang yang layak buru. Buku biografi Steve Job contohnya. Menjadi best seller di banyak Negara, termasuk Indonesia. Banyak orang saat ini menjadikan buku sebagai koleksi pribadi, penghias rak-rak buku di rumah. Bisa jadi dengan mengoleksi berbagai ragam buku, sang pemilik dianggap pintar dan “cinta” buku. Padahal tak satupun buku yang dibeli habis dibaca. Bahkan sampai lupa kalau pernah beli tuh buku. Kalau pernah lihat acara-acara kultum di televisi swasta, stage act sang ustadz digambarkan sedang berdiri di perpustakan pribadinya dengan beragam kitab-kitab bahasa Arab yang kalau disusun bisa membentuk judul dari buku itu sendiri. Saya sih berkhusnudzon saja kalau kitab-kitab tersebut telah dilahap habis sama sang ustadz, jadi beliau simpen semua tuh kitab dalam lemari kaca bersih nan rapih, biar terlihat selalu baru, biar ga rusak juga tentunya [kono katanya paketan kitab-kitab tebal yang masih bahasa Arab mahal]. Negatifnya ya efek dari koleksi mengoleksi itu tadi, buku hanya dibeli, disimpan, dan dipajang, tanpa memberikan ilmu apapun kepada pemiliknya kecuali sedikit.

Tenang kawan, kalau ada yang merasa tersindir, anda tidak sendiri. Mungkin kalau bisa menangis, buku-buku yang terpajang rapi di rumah saya akan menangis sejadi-jadinya. Hampir tak ada satupun buku yang berhasil diselesaikan. Kebanyakan hanya berhenti di halaman Kata Pengantar dan daftar isi. Hanya novel-novel saja yang dapat tembus sampai halaman terakhir, itupun dengan perjuangan. Hehe..

Well, mumpung sekarang bulan Ramadhan, sabtu atau ahad kalau tidak ada kerjaan, sempatkanlah membaca. Mulai dari yang tipis-tipis mungkin, mulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang.

Jumat, 19 Juli 2013



Bismillahirrahmanirrahim...

Sebenarnya kata-kata bisnis bukanlah hal yang baru bagi saya. Dulu sekali, waktu masih jadi anak SD, saya telah memulai menjual "wayang", tazos, minizet, kelereng, sampai pernah suatu kali kepikiran jual lotre. Lotrenya sederhana banget, potongan wayang yang telah dinomori dilipat, kemudian distaples. Nomor yang tertera di wayang itu akan menunjukkan hadiah apa yang didapat oleh si pembeli. Mirip-mirip judi ga sih..?? Maklum, dulu belum ngerti banget yang namanya syariat.
Seiring berjalannya waktu, beranjak dewasa, minat bisnis saya mulai terkikis. SMP dan SMA praktis saya tidak bergelut lagi dengan namanya bisnis. Mungkin waktu itu lagi enak-enaknya punya temen baru, lagi enak-enaknya belajar, dsb.

Saat kuliah, pernah suatu kali mencoba menawarkan bimbel jarak jauh, kerja sama dengan salah satu bimbel terkemuka di kampus. Hasilnya lumayan juga ternyata buat makan-makan.^__^
Sekarang, ketika bergulat dengan dunia kerja, yang semakin menyita waktu, jiwa bisnis ini tetap saja memanggil-manggil. Rasanya gatel kalau ga ada yang dibisnisin. Parah...!!

Berawal dari kebutuhan terhadap herbal, yang menjadi barang wajib di keluarga kami, saya mendatangi sebuah toko herbal di kawasan Bekasi Timur, yang kebetulan bersebelahan dengan tempat kajian. Sambil menyelam minum air yang banyak. Dapet ilmu, dapet herbal.

Tak seperti toko herbal kebanyakan, toko tersebut menawarkan harga yang jauh lebih murah dari pada harga herbal lain di toko-toko sejenis (apalagi dibandingin sama toko online). Diskon yang diberikan hampir selalu 50% dari harga normal, walaupun kita bukan reseller besar. Ide jualan herbal ke temen-temen kantor muncul. #tuing..

Sejak saat itu, saya aktif promosi di Facebook, BBM, web, sms, dll.
Menjual herbal melalui media sosial seperti FB, BBM, bukan hal yang mudah. Terkadang ada temen yang ga suka kalau wallnya dipenuhin oleh dagangan kita. (maklum sih). Saya pun pastinya begitu, begah juga kalo liat tiap detik, tiap menit yang muncul dagangan orang-orang. Menyadari hal tersebut akan berdampak negatif bagi dunia pertemanan saya, diputuskan tidak memposting lagi produk-produk di media sosial. Paling sekali-sekali banget, kalo ada barang murah, bagus, dan lagi booming.

Usaha tersebut lumayan lancar, margin yang didapat perbulan bisa mencapai Rp500.000,- (lumayan kan buat makan sama keluarga di luar).

Mungkin hal yang perlu saya perhatikan lagi adalah sisi akuntabilitas keuangan "perusahaan". Maklum, pencatatan dan penyimpanan uang kadang campur aduk ama uang pribadi. Jadi ga teratur, dan marginnya kadang ga berasa (dipake mulu).

Itung-itung, memulai bisnis kecil-kecilan, sambil kerja sambil usaha.

Next step harus lebih rapih. Klik disini untuk mengunjungi toko herbal online saya.


#ini kisahku, mana kisahmu (haha..)


Sumber gambar